BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Tidak luput dari
realitas bahwa semakin hari faktanya semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus
diantaranya mungkin disebabkan perbedaan prinsip hidup, dan diantara lainnya
bisa disebabkan oleh masalah-masalah pengaturan keluarga. Akan tetapi, yang
jelas kasus-kasus broken home
itu sama halnya dengan kaus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral. Satu hal yang
pasti, hubungan interpersonal diantara suami-istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk.
Dalam beberapa hal disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi
kedekatan personal antarindividu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang
baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini berbagai faktor psikologis termuat di
dalamnya, sehingga patut mendapat utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami
istri ini menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Hartley (1993)
dalam Sarwono menjelaskan peranan penting rasa saling percaya, saling terbuka,
dan saling suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif.
Dalam keadaan ini, kematangan kepribadian menentukan penerimaan peran dari
pasangan komunikasinya (Kabul, 1978). Aspek lain yang penting menurut Hartley
adalah adanya hubungan dua arah dalam komunikasi ini. Artinya di sini terjadi
saling pengertian akan makna tersirat dalam komunikasi. Kesimpulannya,
komunikasi ini merupakan sarana penting dalam menuju hubungan antarpasangan
yang efektif. Sejalan dengan itu, dorongan berkomunikasi ini merupakan efek
disposisi biologis manusia (Wright, 1989).
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi
yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan
itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri. Lemahnya
ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian
afektif (Affective
Disregard). Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi
pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi
cenderung negatif satu dengan yang lainnya. Dari semua fenomena di atas, akan
bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak dalam keluarga itu. Remajalah
yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja seperti yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan
masa pencarian identitas. Masa remaja ditandai dengan pergolakan internal untuk
menemukan identitas dirinya berkaitan dengan eksistensi hidupnya. Pengaruh
faktor broken home keluarga
menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat. Sehingga remaja
cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa
mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian afek oleh
orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan
kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak, sehingga mereka
mungkin mengalami schizoid atau
bisa berdampak hingga schizophrenia.
Broken home sebenarnya
merupakan realitas yang cukup berimplikasi negatif bagi perkembangan
kepribadian yang sehat, meskipun kita mengakui peranan lingkungan dalam
perkembangan individu. Akan tetapi, faktor broken home nampaknya memainkan peranan cukup signifikan dalam
beberapa penelitian.
Fenomena broken home dalam keluarga sudah selayaknya mendapatkan
perhatian dan penanganan yang efektif, terutama dari segi psikologisnya.
Sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Kierkegaard bahwa “zu den sachen selbst” (kembali pada realitasnya
sendiri). Kierkegaard
(1813-1855) dalam eksistensialismenya mengemukakan bahwa pentingnya
menempatkan dan menghargai nilai-nilai subjektivitas diri tiap orang. Jika ini
diabaikan suatu kondisi yang harmonis akan jauh dari realitas. Dalam hubungan keluarga
yang sehat, nilai-nilai subjektivitas antarpasangan harus saling mengakuinya.
Jikalau tidak, hubungan interpersonal keduanya menjadi memburuk dan menyebabkan
keretakan dalam keluarga. Dengan begitu, kedua pasangan telah melebihkan
kapasitas egonya saja. Sedangkan, Freud
dalam psikoanalisisnya menyebutkan pentingnya keselarasan antara fungsi id,
ego, dan superego agar tercipta suatu hubungan interpersonal yang sehat. Inilah
yang seharusnya ada dalam hubungan sebuah keluarga yang harmonis.
Penghargaan nilai-nilai subjektif ini
nampaknya semakin luntur semakin hari. Seiring dengan asumsi Erich Fromm dalam eksistensialismenya
bahwa manusia semakin hari semakin merasa kesepian saja. Kesepian ini dirasakan
seiring terpisahnya manusia dari alam dan manusia yang lainnya. Artinya,
kemajuan zaman telah merebut peran eksistensi dasar manusia. Jika dahulu
kebersamaan adalah norma wajib dalam masyarakat, sekarang ini mungkin berbeda.
Waktu-waktu untuk dihabiskan bersama orang lain semakin sedikit. Hal ini berari
manusia
sudah tidak berdasarkan pada realitasnya (zu den sachen selbst).
Akibatnya, rasa kebersamaan itu luntur seiring berkembangnya rasa keterpsiahan
dari realitasnya. Fromm mengembangkan tesis bahwa manusia semakin bebas dari
abad-keabad, inilah yang menjadi sumber masalah broken home semakin meningkat.
Manusia sudah keluar dari realitas eksistensinya.
Sebenarnya broken home dapat disebabkan
oleh berbagai faktor. Akan tetapi, yang jelas semua berawal dari rasa
ketidakcocokan. Peran psikologi nampak jelas dalam realitas ini. Psikologi
mendapat beban berat untuk mencarikan alternatif terhadap masalah ini. Untuk
itu, peneliti ingin mengungkap realitas yang ada dalam fenomena broken home
dengan harapan bisa memberikan bahan analisis guna mengembangkan intervensi
yang sleayaknya terhadap kasus-kasus broken home yang kian meningkat.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penulisan
makalah ini yaitu:
1.
apakah hakikat dari keluarga broken home?
2.
Apa saja ciri-ciri keluarga broken home?
3.
Bagaimana pemaknaan cinta orang tua dalam perspektif psikologi?
4.
Bagaimana perkembangan kepribadian dan peran dukungan sosial bagi remaja
yang mengalami broken home?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui hakikat keluarga broken home
2.
Mengetahui ciri-ciri keluarga
broken home
3.
Mengetahui pemaknaan cinta
orang tua dalam perspektif psikologi
4. Mengetahui perkembangan kepribadian dan peran dukungan sosial bagi remaja
yang mengalami broken home.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 . Hakikat Keluarga Broken Home
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan
ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana
ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orangtua yang
sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat
setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama
pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa
perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari
pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari
orangtuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal
secara langsung dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas
sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya,
kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang
merasa aneh, jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orangtuanya,
karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak
semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari
orangtuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk
membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan,
ciuman, kecupan, senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri
anak dan membantu menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk
memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak
tertulis yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama,
norma sosial, norma adapt atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan
kepada anak sejak masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia
sedini mungkin diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik.
Khususnya saat anak mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut,
sudah merupakan kewajiban orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya
untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan
perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan
berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan
orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya
menjadikan anak memiliki karakter; mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi
belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan
santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung,
senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka
melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
Solusi terbaik untuk anak-anak tersebut
bukanlah psikolog, guru dan ulama, melainkan orang tua yaitu ayah dan ibunya di
rumah yang dapat berperan dan berfungsi selayaknya orang tua. Anak-anak tidak
akan berbicara secara verbal mengenai kebutuhan dan keinginan hati kecilnya,
tetapi mereka akan berbicara dalam bentuk perilaku yang diperlihatkannya dalam
keseharian. Alangkah bahagia dan senangnya anak-anak jika orangtua dapat
mengerti dan memahami fungsi dan peran orang tua sebagaimana mestinya. Andai
saja orangtua dapat mengurangi keegoisannya dan menyisihkan waktu memenuhi kebutuhan
psikologis anak-anaknya, maka anak akan menjadi generasi yang berintelektual
tinggi dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan harapan dan cita-cita
orangtuanya.
2.2 Ciri-Ciri Keluarga
Broken Home
Berdasarkan beberapa asumsi dalam
literatur, peneliti menemukan bahwa keluarga broken home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja.
Keluarga broken home secara
keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai orangtua tidak
berjalan baik secara fungsional. Fungsi orangtua pada dasarnya adalah sebagai
agen sosialisasi nilai-nilai baik-buruk, sebagai motivator primer bagi anak,
sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang, dan sebagainya. Jikalau
fungsi orangtua ini terhambat, maka aspek-aspek khusus dalam keluarga bisa
dimungkinkan tak terjadi.
Pada hakikatnya, anak membutuhkan
orangtuanya untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Pada masa remaja,
berdasarkan asumsi Erickson,
remaja memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figure sample dalam internalisasi
nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orangtua sebagaimana
mestinya, maka hal in bisa terhambat. Proses pencarian identitas dalam kondisi
serupa ini bisa jadi meriam bagi remaja itu. Remaja itu dimungkinkan membentuk
kerpibadian yang kurang sehat dengan perasaan terisolasi. Proses pencarian
identitas akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas (confused of Identity). Penambahan
juga, remaja itu mungkin bisa mengembangkan perilaku yang delinquency, atau bahkan
patologis, jika keadaan keluarga yang broken home itu dirasakannya sangat
menekan dirinya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yeri Abdillah (2003) dalam
penelitiannya, menyimpulkan bahwa agresivitas pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih
tinggi daripada rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.
Masih banyak kasus lagi yang mungkin
dirasakan anak dalam keluarga broken home. Efeknya akan lebih terasa jika sang
anak berada dalam masa remaja. Masa remaja dalam psikologi diasumsikan sebagai
masa yang penuh dengan strom and
stress. Jikalau dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa
memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan yang
bisa menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.
2.3 Pemaknaan
Cinta Orangtua Dalam Perspektif Psikologi
Cinta
adalah suatu perasaan yang tulus terhadap orang yang dicintai.
mampu memahami mengerti, menyayangi orang yang dicintainya.
berjiwa besar, dan mau membahagiakan orang yang dicintainya . Cinta merupakan suatu perasaan yang diciptakan oleh Tuhan untuk membahagiakan umatnya. Cinta merupakan sesuatu yang sakral, suatu perasaan yang selalu digunakan dalam kehidupan. Kehidupan tanpa cinta seperti sayur tanpa garam. Walaupun cinta itu mungkin jarang diungkapkan tetapi cinta itu sebagian besar ditunjukkan dengan perasaan-perasaan, perhatian-perhatian atau mungkin tindakan-tindakan yang positif terhadap orang-orang yang dicintai.
mampu memahami mengerti, menyayangi orang yang dicintainya.
berjiwa besar, dan mau membahagiakan orang yang dicintainya . Cinta merupakan suatu perasaan yang diciptakan oleh Tuhan untuk membahagiakan umatnya. Cinta merupakan sesuatu yang sakral, suatu perasaan yang selalu digunakan dalam kehidupan. Kehidupan tanpa cinta seperti sayur tanpa garam. Walaupun cinta itu mungkin jarang diungkapkan tetapi cinta itu sebagian besar ditunjukkan dengan perasaan-perasaan, perhatian-perhatian atau mungkin tindakan-tindakan yang positif terhadap orang-orang yang dicintai.
Cinta orangtua tehadap anaknya, dengan
bimbingan melalui perasaan dan tindakan sebagai ungkapan cinta mereka kita
sebagainya anaknya akan berkembang lebih baik. Sebagai manusia sangat wajar
jika kita memiliki perasaan cinta itu. Kita menyayangi sesorang dan
mencintainya itu merupakan suatu komitmen untuk bersamanya dalam mengarungi
kehidupan ini, atau paling tidak kita dapat saling membahagiakan. Cinta juga
dapat tumbuh seiring dengan waktu, jika ada perasaan yang tulus maka awalnya
kita menganggap suatu hubungan biasa saja namun seiring dengan perjalan waktu
kita menemukan kecocokan dengan hubungan tersebut, maka akan tumbuh rasa yang
dinamakan cinta.
Cinta akan datang sekali dalam hidup
pada satu pintu hati kita, maka gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanannya cinta itu akan mengalami banyak sekali rintangan. Seperti
halnya perjalanan hidup, akan banyak mengalami cobaan halangan dan rintangan
untuk mencapai kebahagian cinta. Kita bisa belajar dari rintangan-rintangan
itu, sehingga dapat memahami cinta dan tahu apa yang harus dilakukan demi
cinta.
Cinta orangtua merupakan konsep dasar
yang bisa diasumsikan sebagai segala yang diberikan oleh ayah dan ibu dalam
perannya sebagai orangtua terhadap anaknya. Anak secara umum akan mengidentifikasikan
dirinya pada orangtua. Beberapa penelitian mengidentifikasikan bahwa kelekatan
anak hingga remaja pada umumnya terletak pada orangtuanya. Apabila orangtuanya
tidak memberikan kasih sayang yang cukup kepada anaknya, maka kelekatan itu
tidak aka ada. Untuk mendapatkan sumber kelekatan selain orangtua adalah hal
yang rumit. Untuk itu, di sini peran orangtua secara fungsional merupakan aspek
penting dalam perkembangan anak.
Munculnya masalah broken home menimbulkan suatu
perasaan menyesal pada remaja, dan melakukan identifikasi ulang. Ketiadaannya
dukungan sosial menyebabkan kurangnya alternatif masukan bagi remaja itu untuk
melakukan reidentifikasinya. Orangtua yang semulanya menjadi teladan, akan
dianggap sebagai pembawa petaka baginya. Dari ini muncullah rasa
ketidakpercayaan pada diri remaja itu. Munculnya rasa ketidakpercayaan ini
menyebabkan cinta kepada orangtuanya semakin menipis atau berkurang. Kelekatan
dengan orangtua semakin kecil, sehingga asumsi-asumsi negatif kepada orangtua
mulai muncul. Dari itu muncullah asumsi bahwa orangtuanya sudah tidak
menyayanginya lagi. Perkuatan muncul apabila tidak adanya perhatian secara
fisikal yang ditujukan pada remaja itu.
Pemaknaan cinta orangtua akan semakin
mengarah pada negativitas seiring dengan munculnya beberapa hal berikut ini:
1. Ketiadaan
perhatian fisikal yang dirasakan oleh remaja dalam keluarga broken home,
2. Konfliks antara
orangtuanya dirasakan semakin mengarah pada egoisme ayah-ibunya tanpa
mempertimbangkan eksistensi remaja itu,
3. Kurangnya pemahaman
spiritualisme dalam menghadapi kenyataan hidup berkaitan dengan situasi broken
home,
4. Kurangnya
sosialisasi dari lingkungan sosialnya untuk memandang hal itu dari sisi
positif, dan
5. Taraf perkembangan
sosioemosional yang belum dewasa.
Freud dalam
psikonalisis paradoksnya mengasumsikan bahwa konfliks sebagian besar hanya
muncul dalam taraf ketidaksadaran individu. Meskipun sacara fisikal terlihat
senyum, bukan berarti mood
orang itu juga posiitif. Konfliks internal yang mungkin lebih parah akan muncul
dan bermula dari ketidaksadarannya. Sifat inilah yang menentukan kesadaran
manusia berkaitan dengan ego, ego ideal, superego, dan id-nya. Sistem ini akan
berdinamika sesuai pengalaman. Faktor broken home dapat secara kuat menyebabkan
perasaan subjektif akan cinta orangtua semakin berkurang atau mengarah pada hal
negatif. Bukan tidak mungkin remaja dalam keluarga broken home akan menyalahkan
atau memandang secara negatif terhadap salah satu orangtua atau bahkan kedua
orangtuanya, jika orangtuanya itu dianggap penyebab penderitaan yang
dirasakannya. Ini merupakan suatu bentuk kompensasi tak langsung atas asumsi
subjektif diri remaja itu atas penderitaan yang seharusnya tidak ia dapatkan.
Dalam teori klasik Freud, hal ini menyebabkan pemasakan intrapsikis yang salah,
dan dapat mengarah pada suatu bentuk patologis apabila tidak mendapatkan
pemecahan masalah yang efektif.
Remaja dalam tahapan psikososial Erickson disebutkan adalah masa
pencarian identitas. Dalam tahapan ini, peran orangtua dalam membentuk
identitas nampak jelas, apalagi bagi remaja putri (Margareth Rosario, 2007).
Remaja putri dalam masa pencarian identitas dirinya sangat bergantung pada
orangtuanya sebagai figur teladan, berbeda pada remaja putra yang lebih
ditentukan oleh peer-groupnya. Fakta penelitian ini sudah seharusnya
mempertimbangkan individual
differences, yang menyadari bahwa itu semua bergantung dan khas pada
tiap individu
2.4 Perkembangan
Kepribadian dan Peran Dukungan Sosial Bagi Remaja yang Mengalami Broken Home
Dalam psikologi individual yang
dikemukakan oleh Alfred Adler
disebutkan bahwa lingkungan social memainkan peran penting dalam perkembangan
individu dalam rentang yang ada. Manusia pertama-tama dimotivasi oleh
dorongan-dorongan sosialnya. Menurut Adler, pada hakikatnya manusia merupakan
makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam
kegiatan sosial, dan sebagainya. Dorongan sosial Adler merupakan dorongan yang
bersifat herediter atau bawaan genetic, yang kemudian mendapat stimulus-stimulus
untuk perubahan perkembangannya dari lingkungan sosialnya. Adler mengatakan
bahwa manusia adalah diri yang kreatif. Psikologi Individual Adler merupakan
kombinasi system subjektif yang sangat dipersonalisasikan, yang
menginterpretasikan pengalaman-pengalaman penuh arti. Sejalan dengan pandangan
Soren Kierkegaard bahwa manusia adalah subjektif, sehingga kebenaran subjektif
merupakan hal utama yang pertama.
Adler juga menambahkan bahwa diri
mencari pengalaman-pengalaman yang membantu pemenuhan gaya hidup sang pribadi
yang unik, apabila tak ditemukan, maka diri akan berusaha menciptakannya. Ini
menjelaskan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi remaja dalam keluarga
broken home. Dengan adanya dukungan sosial dari lingkungan sosialnya, maka
pengalaman dalam hal problem solving masalah keluarga yang dihadapinya akan
didapatkannya. Masih dalam hal dukungan sosial, intensi perilaku juga
dipengaruhi oleh arah vektor kontinumnya. Arahnya ditentukan oleh masukan dari
agen dukungan sosialnya. Agen yang tepat berarti agen tersebut dapat memberi
masukaqn saran yang tepat bagi diri itu, dan dapat mengarahkannya untuk
menghambat lajunya masalah yang dihadapi agar tidak semakin memburuk.
Manusia sebagai diri, menurut Adler
merupakan pribadi yang unik yang terdiri atas konfigurasi unik dari
motif-motif, sifat-sifat, minat-minat, dan nilai-nilai, dimana setiap perbuatan
yang dilakukan mencerminkan gaya hidup yang khas baginya. Manusia menjalani
hidupnya dengan motivasi dorongan sosial. Hilangnya dorongan sosial dapat
berakibat munculkan gangguan perkembangan atau gangguan psikis lainnya.
Sejalan dengan Adler, Kierkegaard juga
memandang bahwa kesadaran menjadi pusat kepribadian manusia. Manusia adalah
makhluk sadar; mereka sadar akan inferioritas-inferioritasnya; dan sadar akan
tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan. Adler mengasumsikan bahwa diri manusia
memiliki aspek finalisme
fiktif. Ini merupakan penjelasan Adler bahwa manusia hidup dengan
berjuta harapan dan tujuannya yang fiktif. Dengan adanya harapan dan tujuan
fiktif ini, memungkinkan manusia menghadapi kenyataannya secara lebih efektif.
Gambaran mengenai kehidupan yang harmonis mungkin bagi remaja dalam keluarga
broken home secara kontinum dianggap tak berguna, sehingga memungkinkan
gambaran fiktif itu akan dibuang dari dirinya. Intensinya ditentukan oleh pada
rentang kontinum seberapa ia menganggap\ gambaran fiktif itu tidak berguna.
Perasaan inferioritas dapat muncul apabila gambaran itu samara-samar adanya,
sehingga menimbulkan kebingungan diri.
Adler menjelaskan bahwa manusia lebih
didorong oleh harapan-harapan di masa depan daripada kenangan masa lalunya.
Harapan yang pupus akibat broken home ini, membuat diri remaja itu berupaya
untuk melakukan dinamika diri ke arah kemajuan. Lagi-lagi di sini nampak peran
dukungan sosial dalam dinamika diri. Harapan yang pupus menyebabkan perilaku
sekarang menjadi terhambat dengan adanya broken home. Hilangnya harapan ini
akan mempengaruhi perilaku dalam parameter sejauhmana harapan itu menjadi
prioritas hidupnya. Apabila itu sangat penting bagi dirinya, maka simtom
negatif tertentu akan mungkin muncul, misalnya menjadi suka menyendiri, mudah
tersinggung, dan sebagainya. Akan tetapi, Adler menyebutkan bahwa orang norma
pasti dapat membebaskan diri dari harapan fiktif ini, sehingga diri terbebas
dalam menghadapi kenyataan dari fiktif-fiktif ini. Apabila diri tidak demikian,
maka gangguan psikis atau gangguan perkembangan akan muncul.
Adler menambahkan setiap diri memiliki
kecenderungan untuk mengarah pada superioritas dengan tiga cirinya yaitu
menjadi agresif, bekuasa, dan superior. Superior di sini bukanlah bersifat
individualisme, melainkan sejalan dengan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow. Superioritas merupakan
gejala adanya aktualisasi diri. Ini terjadi pada orang normal. Ketidakberdayaan
fisik dan kelemahan yang tak nampak lainnya menjadi faktor pendukung munculnya
perasaaan inferioritas. Pada remaja dalam keluarga broken home, broken home ini
akan menjadi bahan bagi munculnya rasa inferior pada dirinya, tergantung sejauhmana
masalahnya dirasakan membuat dirinya tak berdaya. Adakah kompensasinya ? Adler
menjawab bahwa dari adanya inferioritas itu muncullah kompensasi atas rasa
inferior itu. Metode kompensasi ini diperoleh selama proses belajar sosialnya
terhadap lingkungan, sedangkan pertimbangan untuk menggunakannya ditentukan
secara subjektif oleh diri remaja itu. Kompensasi yang mungkin muncul adalah
semakin melekatnya remaja itu dengan peer groupnya, atau menjadi seorang
penyendiri, dan peka perasaannya. Adler menyebutkan bahwa rasa inferior ini
muncul bukan sebagai abnormal, melainkan sebagai bentuk penyempurnaan dalam
perkembangan dirinya. Manifestasi atas perkembangan yang tak dapat dilakukan
remaja mengakibatkan adanya gejala abnormalitas, misalnya gangguan penyesuaian.
Adler kemudian menekankan peranan
dukungan sosial dalam perkembangan diri remaja yang mengalami broken home.
Lingkungan sosial yang mendukung positif menjadi sumber inspirasi penting bagi
individu, sehingga diri mampu mengembangkan dirinya ke arah kesempurnaan, yang
menjadi tujuan perkembangan diri menurut Adler. Ketiadaan dukungan sosial yang
memadai bagi diri menyebabkan semakin besarnya intensitas inferioritas yang
dirasakannya, dan ini dapat mengarahkan pada gejala keabnormalitasan diri. Akan
tetapi, Adler percaya bahwa tiap diri adalah kreatif untuk mencari alternatif
penyelesaian bagi setiap masalah yang dihadapinya, sehingga apabila
abnormalitas itu muncul, maka dapat disimpulkan bahwa stimulus broken home yang
dirasakannya melebihi taraf intensitas kemampuannya dalam mereduksi masalah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Percaraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara
suami dan istri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara
suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Penyebab
perceraian anatar lain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan
akhlak, perzinahan pernikahan tanpa cinta.
Broken home bukanlah akhir dari segalanya bagi
kehidupan kita. Jalan kita masih panjang untuk menjalani hidup kita sendiri.
Pergunakanlah situasi ini sebagai sarana dan media pembelajaran guna menuju
kedewasaan. Ingat, kita tidak sendiri dan bukanlah orang yang gagal. Kita masih
bisa berbuat banyak serta melakukan hal positif. Menjadi manusia yang lebih
baik belum tentu kita dapatkan apabila ini semua tidak terjadi. Mungkin saja
ini merupakan sebuah jalan baru menuju pematangan sikap dan pola berpikir kita.
3.2 Saran
Penulis sebagai penyusun makalah ini berharap
makalah ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Terjaganya makalah ini
merupakan harapan penulis. Kepada pembaca yang menggunakan makalah ini dalam berbagai bidang
diharapkan dapat menjaga dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Zainal. 2002. Analisis Eksistensial
Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: Refika
Hall,
Calvin S, Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori
Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius
Palmer,
Donald D. 2001. Kierkegaard: Untuk
Pemula. Yogyakarta: Kanisius
Santrock,
John W. 2002. Adolescence: Perkembangan
Masa Remaja. Yogyakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar