Selasa, 26 September 2017

HUBUNGAN LOGIKA DENGAN PSIKOLOGI, BAHASA, DAN METAFISIKA



HUBUNGAN LOGIKA DENGAN PSIKOLOGI, BAHASA, DAN METAFISIKA


1.       Logika dan Psikologi
Dalam psikologi membicarakan perkembangan pikiran tentang pengalaman melalui proses subjektif di dalam jiwa. Dengan demikian, psikologi memberikan keterangan mengenai sejarah perkembangan berpikir. Logika sebagai cabang filsafat bertujuan membimbing akal untuk berpikir (bagaimana seharusnya). Untuk dapat berpikir bagaimana seharusnya, kita terlebih dahulu harus mengetahui tentnag bagaimana manusia itu berpikir. Di sinilah letak hubungan antara psikologi dan logika.
2.       Logika dan Bahasa
Bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi hati atau pikiran seseorang sehingga dengan bahasa, orang lain dapat mengerti tentnag isi hati atau pikiran yang disampaikan, misalnya melalui bahasa isyarat, tertulis atau lisan. Jadi, bahasa adalah alat komunikasi. Komunikasi dapat lancar apabila permasalahannya disusun ke dalam bentuk kaidah bahasa yang baik dan benar. Ini dipelajari dalam ilmu bahasa (gramatika).
3.       Logika dan Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat realitas. Hakikat realitas dapat dicari dan ditemukan dibalik sesuatu yang tampak atau nyata. Oleh sebab itu, Metafisika selalu mencari kebenaran/hakikat realitas dibalik  yang tampak dan nyata. Sikap seperti itu adalah kritis, yaitu suatu sikap yang selalu ingin tahu dan membuktikan tentnag sesuatu yang sudah atau serba dianggap benar. Teori dalam metafisika bahwa kenyataan kebenaran/hakikat realitas bukanlah apan yang tampak, tetapi apa yang berada dibalik yang tampak.
Dengan demikian bsgi logika, metafisika merupakan kritik terhadap dalil dan hukum-hukumnya. Semakin erat hubungan metafisika dengan logika, kebenaran logis semakin dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, kebenaran logis mendekat pada hakikat realitas. Semakin mampu berpikir logis, orang tidak akan mudah tertipu oleh kebenaran yang tampak. (Iriyanto Widisuseno, 1995)

DAFTAR PUSTAKA :
Surajiyo, Astanto Sugeng, Andini Sri dan Andiani Sri. 2005.Dasar-Dasar Logika. Jakarta: PT Bumi Aksara. (hlm. 15-16)
Widisuseno, Iriyanto. 1995. Seri Filsafat: Pengantar ke Arah Ilmu Filsafat (Logika). Semarang : Fisip Universitas Diponegoro.


Sabtu, 23 September 2017

GUNA DAN MANFAAT LOGIKA

GUNA DAN MANFAAT LOGIKA

Ada beberapa kegunaan logika, yaitu dengan belajar logika dapat :
1.      Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis,     lurus, tetap, tertib, metodis, dan koheren;
2.      Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif;
3.      Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri;
4.      Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kekeliruan serta kesesatan. (Jan Hendrik Rapar, 1996)
Disamping kegunaan diatas, logika juga memberikan manfaat teoretis dan praktis. Dari segi kemanfaatan teoretis, logika sebagai ilmu banyak menyajikan dalil-dalil, hukum berpikir logis, dengan demikian logika mengajarkan tentang berpikir yang seharusnya. Dalam arti ini, logika adalah ilmu normative, karena logika membicarakan tentang sebagaimana seharusnya bukan  membicarakan tentang berpikir sebagaimana adanya dalam ilmu-ilmu positif, seperti fisika, psikologi dan sebagainya. Dengan berpikir sebagaimana seharusnya, ini berarti logika memberikan syarat-syarat tentang apa yang harus dipenuhi dalam berpikir untuk mencapai gagasan tentang kebenaran.
Dari segi kemanfaatan praktis, akal semakin tajam dan tinggi kemampuannyaa (kritis) dalam hal imajinasi logis. Imajikasi logis adalah kemampuan akal untuk menggambarkan kemungkinan terjadinya sesuatu sebagai keputusan akal yang benar dan runtut (consistent).
Bagi ilmu pengetahuan, logika merupakan keharusan. Tidak ada ilmu pengetahuan y6ang tidak didasarkan pada logika. Ilmu pengetahuan tanpa logika tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh episteme (pengetahuan). Oleh karena itu, barang siapa mempelajari logika, sesungguhnya ia telah menggenggam master key untuk membuka semua pintu masuk keberbagai disiplin ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo, Astanto Sugeng, Andini Sri dan Andiani Sri. 2005.Dasar-Dasar Logika.
         Jakarta: PT Bumi Aksara. (hlm. 15-16)


Jumat, 22 September 2017

SEJARAH PERKATAAN LOGIKA



 Sejarah Perkataan Logika

Filsafat tidak memberikan jawaban atas pemecahan persoalan filsafat dengan suatu jawaban yang dapat diuji kebenarannya dengan metode empiris atau yang dapat dibuktikan dengan pengujian-pengujian eksperimental. Pemecahan terhadap persoalan filsafat hanya dapat dilakukan melalui pemikiran yang sungguh-sungguh dan mendalam.  Dengan kata lain, keberlangsungan filsafat harus didukung dengan adanya penalaran (reasoning) dan perbincangan (argument). Semua tema ini dibicarakan dalam logika. Untuk memahami apa itu logika dapat dilihat dari sejarah perkataan logika dan arti logika dari para filsuf dan ilmuwan.  
Perkataan logika diturunkan dari kata sifat logike, bahasa yunani, yang berhubungan dengan kata benda logos, berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. Hal ini membuktikan bahwa ternyata ada hubungan yang erat antara pikiran dan perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa.
Nama logika untuk pertama kali muncul pada filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum masehi), tetapi dalam arti seni berdebat. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 Sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan kata logika dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita. (K. Bertens, 1975, hlm. 137-138).
Disamping dua filsuf diatas (Cicero dan Alexander Aphrodisias), Aristoteles pun telah berjasa besar dalam menemukan logika. Namun, Aristoteles belum memakai nama logika. Aristoteles memakai istilah analitika dan dialetika. Analitika untuk penyelidikan mengenai berbagai argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar, sedangkan Dialetika untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak pasti kebenarannya. (K. Bertens, 1975, hlm. 138).
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga golongan, yaitu  ilmu pengetahuan praktis, produktif, dan teoritis. ilmu pengetahuan produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian). ilmu pengetahuan praktis meliputi etika dan politik. Kemudian ilmu pengetahuan teoritis mencakup tiga bidang, yakni fisika, matematika, dan "filsafat pertama". Logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah. (Bertens, 1975, hlm. 138).
Menurut Aristoteles, filsafat pertama (prote philosophia) adalah ilmu tentang peradaan sebagai peradaan. pengetahuan teoritis jenis ini kemudian dikenal dengan nama metafisika. Aristoteles membagi pengetahuan rasional menjadi tiga jenis pengetahuan, yakni pengetahuan teoritis, pengetahuan praktis, dan pengetahuan produktif.
Analitika dan dialektika oleh Aristoteles tidak dimasukkan kedalam pembagian pengetahuan rasional, sebab bagi Aristoteles kedua hal tersebut dianggap sebagai alat di luar Episteme yang justru diperlukan untuk mempelajari kumpulan pengetahuan tersebut. Karena dianggap sebagai alat ilmu itulah maka himpunan mengenai karya tentang penalaran oleh para pengikut Aristoteles kemudian disebut Organon.
Dalam abad pertengahan ototritas Aristoteles diakui sedemikian tingginya sehingga karya-karya logikanya kemudian diwajibkan untuk dipelajari dalam pendidikan untuk warga bebas. dalam abad pertengahan dikenal istilah Latin Ars yang pengertiannya meliputi usaha mencari pengetahuan, ilmu teoritis, dan ilmu praktis, serta seni kerajinan. Dengan meneruskan konsepsi klasik mengenai corak pendidikan yang dianggap cocok bagi para warga "bebas" yang dilahirkan merdeka, dalam abad pertengahan dikenal adanya Artes Liberalis(Studi Bebas) yang logika termasuk di dalamnya. Studi ini meliputi tujuh macam pengetahuan atau pelajaran yang oleh Martinus dibaginya menjadi dua kelompok yang kemudian terkenal sebagai Quadrium/ Empat Serangkai (aritmetik; Astronomi; Geometri; dan Teori Musik) dan Trivium/ Tiga Serangkai (Gramatik; Retorika; dan Logika)(The Liang Gie, dkk., 1980). 
Jadi, kalau pada zaman Yunani Kuno, Logika oleh Aristoteles dianggap sebagai suatu jenis pengetahuan yang berkedudukan diluar semua jenis pengetahuan rasional, dalam abad pertengahan logika telah mulai dianggap sebagai satu diantara berbagai pengetahuan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata logika pada umunya dipandang sebagai salah satu capang filsafat. Ini terbukti dari pembagian filsafat yang banyak dilakukan para ahli filsafat dan filsuf selalu memasukkan logika termasuk dalam cabang filsafat, diantaranya sebagai berikut: 
  1. Louis O. Kattsoff menyebutkan bahwa cabang-cabang filsafat adalah logika, metodologi, metafisika, epistemologi, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat antropologi, filsafat sosiologi, etika, estetika, dan filsafat agama.
  2. The Liang Gie membagi filsafat sistematis menjadi:
            a.Metafisika (filsafat tentang hal ada);
     b. Epistemologi (teori pengetahuan);
     c. Metodologi (teori tentang metode);
     d. Logika (teori tentang penyimpulan);
     e. Etika (teori tentang pertimbangan moral);
      f. Estetika (teori tentang keindahan);
      g. sejarah filsafat, (Lasiyo dan Yuwono, 1985, hlm. 19).
Daftar Pustaka :
Surajiyo, Astanto Sugeng, Andini Sri dan Andiani Sri. 2005.Dasar-Dasar Logika.
         Jakarta: PT Bumi Aksara

Rabu, 20 September 2017

Model Pembelajaran Teacher Centered Learning (TCL)








1.      Pengertian Teacher Centered Learning
Pada sistem pembelajaran model teacher centered learning, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing). Pada saat mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, mahasiswa sebatas memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya. Dosen menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Model ini berarti memberikan informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana dosen bisa mengajar dengan baik sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan.
Pendekatan teacher centered learning dimana proses pembelajaran lebih berpusat pada guru hanya akan membuat guru semakin cerdas tetapi siswa hanya memiliki pengalaman mendengar paparan saja. Out put yang dihasilkan oleh pendekatan belajar seperti ini tidak lebih hanya menghasilkan siswa yang kurang mampu mengapresiasi ilmu pengetahuan, takut berpendapat, tidak berani mencoba yang akhirnya cenderung menjadi pelajara yang pasif dan miskin kreativitas.
Sejauh ini model-model pembelajaran yang bersifat teacher centered terlihat pada model pembelajaran, model komando atau banking learning concept. Pola pembelajaran model komando atau gaya bank ini banyak diterapkan sekitar tahun 1960-an yang mengembangkan perinsip distribusi keputusan harus dilakukan secara hierarkis dari atas ke bawah atau dari guru ke siswa.
Jadi dari paparan di atas dapat kami simpulkan bahwa pengertian teacher center learning adalah proses pembelajaran yang berpuasat pada guru artinya guru sangat menentukan proses pembelajaran karena guru menjadi satu-satunya sumber ilmu. Jadi model pembelajran ini membuat siswa menjadi pasif dalam proses pembelajaran.
Sistem pembelajaran pada hampir semua program studi perguruan tinggi di indonesia masih bersifat satu arah, yaitu pemberian materi oleh dosen. Sistem pembelajaran tersebut dikenal dengan model teacher centered learning (tcl), yang ternyata membuat mahasiswa pasif karena hanya mendengarkan kuliah sehingga kreativitas mereka kurang terpupuk atau bahkan cenderung tidak kreatif.
Pada sistem pembelajaran model tcl, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing). Pada saat mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, mahasiswa sebatas memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya. Dosen menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Model ini berarti memberikan informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana dosen bisa mengajar dengan baik sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan. Perbaikan untuk model pembelajaran tcl telah banyak dilakukan, antara lain mengkombinasikan lecturing dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Walaupun sudah ada perbaikan, tetapi hasil yang dihasilkan masih dianggap belum optimal.
Pola pembelajaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini mempunyai efektivitas pembelajaran rendah. Hal tersebut setidaknya tampak pada 2 hal. Pertama, dosen sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran. Kedua, pada saat-saat mendekati ujian, di mana aktivitas mahasiswa “berburu” catatan maupun literatur kuliah, serta aktivitas belajar mereka mengalami kenaikan yang sangat signifikan, namun turun kembali secara signifikan pula setelah ujian selesai.
Implikasi lain dari sistem pembelajaran tcl adalah dosen kurang mengembangkan bahan kuliah dan cenderung seadanya (monoton), terutama jika mahasiswanya cenderung pasif dan hanya sebagai penerima transfer ilmu. Dosen mulai tampak tergerak untuk mengembangkan bahan kuliah dengan banyak membaca jurnal atau download artikel hasil-hasil penelitian terbaru dari internet, jika mahasiswanya mempunyai kreativitas tinggi, banyak bertanya, atau sering mengajak diskusi. Namun, karena sistem pembelajaran tcl pada akhirnya “lebih mengkondisikan” mahasiswa pasif dan hanya sebagai penerima transfer saja, maka dosen pun menjadi kurang termotivasi untuk mengembangkan bahan kuliahnya.
TCL merupakan suatu sistem pembelajaran dimana mahasiswa hanya mendapatkan materi dari satu sumber saja yaitu dosen. Di sistem ini selain mahasiswa cenderung pasif karena cenderung hanya mendengar kuliah saja, dosen juga kurang mengembangkan bahan kuliah dan cenderung seadanya, monoton.
2.      Model Pembelajaran Teacher Centered Learning (TCL)
Model komando atau banking learning concept
Sejauh ini model-model pembelajaran yang bersifat teacher center terlihat pada model pembelajaran model komando atau banking learning concept. Pembelajaran model ini selalu betolak belakang antara posisi guru dan peserta didik, yakni jika guru ceramah siswa mendengarkan dengan tekun, guru bertanya siswa menjawab, guru mengerti siswa tidak tahu apa-apa, guru mendiktekan teks siswa mencatat, guru pandai siswa bodoh, guru sebagai subjek siswa sebagai objek, guru membuat program belajar siswa menerima program, dan seterusnya.
Model komando ini diterapkan sekitar tahun 1960-an. Dalam proses pembelajaran model komando, biasanya guru mempersiapkan bahan untuk diterapkan pada siswa. Jadi model komando tidak melibatkan siswa dalam bentuk menyepakati kontrk belajar.
b)     Independent / individual
Independent atau individual adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas individual peserta didik. Pada saat ini, pembelajaran individu tidak menjamin pembelajaran organisasi, tetapi pembelajaran organisasi tidak akan terjadi tanpa pembelajaran individu (garvin, 2000; kim, 1993).
Tujuan individual learning bagi para peserta didik adalah agar mereka secara mandiri dapat mengatur tujuan pembelajaran jangka pendek dan jangka panjang yang ingin dicapai, melacak kemajuan dan prestasi selama waktu periode tertentu. Manfaat sistem pembelajaran independent ini mampu memenuhi kepentingan peserta didik secara individual.
c)      Cooperative
Cooperative learning merupakan suatu aktivitas pembelajaran dengan penekanan pada pemberdayaan peserta didik untuk saling belajar melalui pembentukan kelompok-kelompok sehingga mereka dapat bekerja sama dalam memaksimalkan proses pembelajaran diri sendiri ataupun peserta didik lainnya secara lebih efektif.
Cooperative learning mempunyai tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri, memperbaiki kemampuan berfikir secara global, meningkatkan hubungan antarkelompok, dan meningkatkan gairah belajar. Manfaat yang diperoleh dalam pembelajaran cooperative learning adalah peningkatan rasa kepercayaan diri, peningkatan rasa menghargai keberadaan orang lain, peningkatan rasa untuk saling memberikan dan menerima pengetahuan diantara peserta, dan peningkatan kesadaran perlunya kemampuan dalam bekerjasama (team work).
Prinsip pembelajaran cooperative adalah terjadi komunikasi antar peserta didik, tanggung jawab terhadap hak dan kewajibannya, saling menghargai antar peserta didik, dan setiap peserta mempunyai peran yang sama dalam menyelesaikan masalah.
Di dalam metode cooperative learning bisa digunakan metode diskusi. Karena diskusi adalah proses pengajaran melalui interaksi dalam kelompok. Setiap anggota kelompok saling bertukar ide tentang suatu isu dengan tujuan untuk memecahkan suatu masalah, menjawab suatu pertanyaan, menambah pengetahuan atau pemahaman, atau membuat suatu keputusan. Apabila diskusi melibatkan seluruh anggota kelas, maka pengajaran dapat terjadi secara langsung dan bersifat student centered (berpusat pada siswa). Dikatakan pengajaran langsung, oleh sebab guru menentukan tujuan yang harus dicapai melalui diskusi, mengontrol aktivitas siswa serta menentukan fokus dan keberhasilan pengajaran. Dikatakan berpusat kepada siswa oleh sebab sebagian besar input pengajaran berasal dari siswa, mereka secara aktif akan meningkatkan belajar mereka, serta mereka dapat menentukan hasil diskusi mereka.  

d)     Collaborative
Collaborative learning pada dasarnya merupakan pembelajaran yang berdasarkan pengalaman peserta didik sebelumnya (prior knowledge) dan dilakukan secara berkelompok. Collaborative learning dilakukan dalam kelompok, seperti halnya pada pembelajaran kooperatif dan kompetitif, tetapi tidak diarahkan untuk berkompetisi dan tidak diarahkan hanya pada satu kesepakatan tertentu.
Collaborative learning mempunyai tujuan untuk memperluas perspektif atau wacana peserta didik, mengelola perbedaan dan konflik karena proses berpikir divergen, membangun kerjasama, toleransi, belajar menghargai pendapat orang lain, dan belajar mengemukakan pendapat. Manfaat yang diperoleh dalam pembelajaran colaborative learning adalah mengembangkan daya nalar berdasarkan pengetahuan/ pengalaman yang dimiliki dan sharing pengetahuan/pengalaman dari teman kelompoknya, memupuk rasa tenggang rasa, empati, simpati dan menghargai pendapat orang lain, menambah pengetahuan secara kolektif, dan mendapatkan tambahan pengetahuan untuk dirinya sendiri.
e)     Active
Active learning mengacu pada teknik di mana peserta didik melakukan lebih banyak aktivitas dan bukan hanya mendengarkan fasilitator. Peserta didik melakukan beberapa hal termasuk menemukan, mengolah, dan menerapkan informasi. Active learning bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga semua peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristika pribadi yang mereka miliki. Di samping itu active learning juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian peserta didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. Manfaat active learning adalah untuk memungkinkan peserta didik berperan secara aktif dalam proses pembelajaran baik dalam bentuk interaksi antar peserta didik maupun peserta didik dengan pengajar.

f)       Self directed
Self-directed learning (SDL) adalah cara pembelajaran di mana peserta didik mengambil inisiatif dan tanggung jawab tentang pembelajaran. Dalam sdl peserta didik sendiri yang menentukan bahan ajar, mengelola dan menilai proses pembelajaran dan hasilnya. Sdl dapat dilaksanakan kapan saja dan di mana saja, memakai cara pembelajaran yang bebas dipilih sendiri.
Tujuan dari pembelajaran dengan cara SDL ialah untuk pengembangan tanggung jawab dan kemandirian peserta didik dalam proses pembelajaran dan dalam menentukan materi pembelajaran dan kompetensi yang diharapkan. Metode sdl akan bermanfaat menghasilkan kompetensi yang lebih baik, dan karena peserta didik sendiri yang menentukan kompetensi yang diinginkan maka kompetensi yang diperoleh juga lebih berguna bagi peserta didik.
Bentuk kegiatannya ialah setiap peserta didik harus mempunyai logbook yang dipakai untuk mengatur pembelajarannya. Peserta didik mempelajari dan mengetahui berbagai tugas, hak, kewajiban mereka serta berbagai pengetahuan dasar yang perlu dimilikinya. Institusi memberi peluang kepada peserta didik untuk melakukan pengaturan belajar mandiri (self-regulated learning) yang meliputi: membuat rencana pembelajaran, monitoring setiap kegiatan belajar dan melakukan evaluasi belajar secara tertulis dalam logbook.
g)     Research based
Research-based learning (RBL) adalah merupakan salah satu metode (TCL) yang mengintegrasikan penelitian di dalam proses pembelajaran. RBL memberi peluang/kesempatan kepada peserta didik untuk mencari informasi, menyusun hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan atas data yang sudah tersusun; dalam aktivitas ini berlaku pembelajaran dengan pendekatan “learning by doing”. (jones, rasmussen, & moffitt, 1997; thomas, mergendoller, & michaelson,1999, thomas, 2000).
RBL bertujuan untuk menciptakan proses pembelajaran yang mengarah pada aktivitas analisis, sintesis, dan evaluasi serta meningkatkan kemampuan peserta didik dan dosen dalam hal asimilasi dan aplikasi pengetahuan. Dengan rbl maka peserta didik dapat memperoleh berbagai manfaat dalam konteks pengembangan metakognisi dan pencapaian kompetensi yang dapat dipetik selama menjalani proses pembelajaran
h)     Case based
Case-based learning (CBL) adalah pembelajaran berbasis kasus. Peserta didik disediakan kasus yang merupakan simulasi bagi mereka untuk melatih diri sebagai profesional yang sesungguhnya. Cbl bertujuan untuk (a) melatih mahasiswa belajar secara kontekstual, (b) mengintegrasikan prior knowledge dengan permasalahan yang ada di dalam kasus dalam rangka belajar untuk mengambil keputusan secara professional, dan (c) mengenalkan tatacara pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang tepat atau rasional (evidence-based). Cbl bermanfaat agar (a) dosen menyiapkan dan menyediakan pokok bahasan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran sebagaimana tertera di dalam rencana program kegiatan pembelajaran semester (rpkps), (b) bersama-sama peserta didik membahas kasus yang disajikan. Peserta didik terlatih dan kemudian terbiasa untuk berpikir secara kritis ketika mengaktifkan dan menggunakan prior knowledge mereka yang dirangsang oleh kasus yang sedang dibahas bersama.
i)       Problem based learning dengan metode seven jumps
Problem-based learning (PBL) adalah suatu metoda pembelajaran di mana peserta didik sejak awal dihadapkan pada suatu masalah, kemudian diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student-centered. Pbl bertujuan mengembangkan. Knowledge  (materi dasar dan komunitas selalu dalam konteks), skills hard-soft-life skills ( berpikir secara ilmiah), critical appraisal (terampil dalam mencari informasi, terampil dalam belajar secara aktif & mandiri, dan belajar sepanjang hayat), attitudes (nilai kerjasama, etika, ketrampilan antarpersonal, menghargai nilai psikososial).
Pbl bermanfaat untuk peserta didik memiliki kecakapan dan sikap yang positif, antara lain: kerjasama dalam kelompok, kerjasama
antar peserta didik di luar diskusi kelompok, memimpin kelompok, mendengarkan pendapat kawan, mencatat hal-hal yang didiskusikan, menghargai pendapat/pandangan kawan,  bersikap kritis terhadap literatur,  belajar secara mandiri, mampu menggunakan sumber belajar secara efektif, dan ketrampilan presentasi. Secara keseluruhan, kecakapan dan sikap tadi merupakan modal utama dalam pembentukan lifelong learner. Seven jumps (7 langkah) pada pbl :
1.      menjelaskan istilah dan konsep
2.      menetapkan kata kunci dan masalah
3.      menganalisis masalah
4.      menghubungkan atau menarik kesimpulan
5.      merumuskan tujuan/sasaran pembelajaran
6.      mengumpulkan informasi
7.      mensintesis dan menguji informasi baru

2.5Kelebihan dan kekurangan TCL
Kelebihan Teacher Centered Learning :
1.      sejumlah besar informasi dapat diberikan dalam waktu singkat
2.      informasi dapat diberikan ke sejumlah besar siswa
3.      pengajar mengendalikan sepenuhnya organisasi, bahan ajar, dan irama pembelajaran
4.      merupakan mimbar utama bagi pengajar dengan kualifikasi pakar
5.      bila kuliah diberikan dengan baik, menimbulkan inspirasi dan stimulasi bagi siswa
6.      metode assessment cepat dan mudah


Kekurangan Teacher Centered Learning :
1.                  pengajar mengendalikan pengetahuan sepenuhnya, tidak ada partisipasi dari pembelajar
2.                  terjadi komunikasi satu arah, tidak merangsang siswa untuk mengemukakan pendapatnya
3.                  tidak kondusif terjadinya critical thinking
4.                  mendorong pembelajaran pasif
5.                  suasana tidak optimal untuk pembelajaran secara aktif dan mandiri