Sabtu, 21 April 2018

PEMAKNAAN CINTA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI (BROKENHOME)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Tidak luput dari realitas bahwa semakin hari faktanya semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan perbedaan prinsip hidup, dan diantara lainnya bisa disebabkan oleh masalah-masalah pengaturan keluarga. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken home itu sama halnya dengan kaus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami-istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Dalam beberapa hal disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi kedekatan personal antarindividu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini berbagai faktor psikologis termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Hartley (1993) dalam Sarwono menjelaskan peranan penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan kepribadian menentukan penerimaan peran dari pasangan komunikasinya (Kabul, 1978). Aspek lain yang penting menurut Hartley adalah adanya hubungan dua arah dalam komunikasi ini. Artinya di sini terjadi saling pengertian akan makna tersirat dalam komunikasi. Kesimpulannya, komunikasi ini merupakan sarana penting dalam menuju hubungan antarpasangan yang efektif. Sejalan dengan itu, dorongan berkomunikasi ini merupakan efek disposisi biologis manusia (Wright, 1989).
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif (Affective Disregard). Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif satu dengan yang lainnya. Dari semua fenomena di atas, akan bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja seperti yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Masa remaja ditandai dengan pergolakan internal untuk menemukan identitas dirinya berkaitan dengan eksistensi hidupnya. Pengaruh faktor broken home keluarga menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat. Sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian afek oleh orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak, sehingga mereka mungkin mengalami schizoid atau bisa berdampak hingga schizophrenia.
Broken home sebenarnya merupakan realitas yang cukup berimplikasi negatif bagi perkembangan kepribadian yang sehat, meskipun kita mengakui peranan lingkungan dalam perkembangan individu. Akan tetapi, faktor broken home nampaknya memainkan peranan cukup signifikan dalam beberapa penelitian.

Fenomena broken home dalam keluarga sudah selayaknya mendapatkan perhatian dan penanganan yang efektif, terutama dari segi psikologisnya. Sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Kierkegaard bahwa “zu den sachen selbst” (kembali pada realitasnya sendiri). Kierkegaard (1813-1855) dalam eksistensialismenya mengemukakan bahwa pentingnya menempatkan dan menghargai nilai-nilai subjektivitas diri tiap orang. Jika ini diabaikan suatu kondisi yang harmonis akan jauh dari realitas. Dalam hubungan keluarga yang sehat, nilai-nilai subjektivitas antarpasangan harus saling mengakuinya. Jikalau tidak, hubungan interpersonal keduanya menjadi memburuk dan menyebabkan keretakan dalam keluarga. Dengan begitu, kedua pasangan telah melebihkan kapasitas egonya saja. Sedangkan, Freud dalam psikoanalisisnya menyebutkan pentingnya keselarasan antara fungsi id, ego, dan superego agar tercipta suatu hubungan interpersonal yang sehat. Inilah yang seharusnya ada dalam hubungan sebuah keluarga yang harmonis.
Penghargaan nilai-nilai subjektif ini nampaknya semakin luntur semakin hari. Seiring dengan asumsi Erich Fromm dalam eksistensialismenya bahwa manusia semakin hari semakin merasa kesepian saja. Kesepian ini dirasakan seiring terpisahnya manusia dari alam dan manusia yang lainnya. Artinya, kemajuan zaman telah merebut peran eksistensi dasar manusia. Jika dahulu kebersamaan adalah norma wajib dalam masyarakat, sekarang ini mungkin berbeda. Waktu-waktu untuk dihabiskan bersama orang lain semakin sedikit. Hal ini berari manusia sudah tidak berdasarkan pada realitasnya (zu den sachen selbst). Akibatnya, rasa kebersamaan itu luntur seiring berkembangnya rasa keterpsiahan dari realitasnya. Fromm mengembangkan tesis bahwa manusia semakin bebas dari abad-keabad, inilah yang menjadi sumber masalah broken home semakin meningkat. Manusia sudah keluar dari realitas eksistensinya.
Sebenarnya broken home dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Akan tetapi, yang jelas semua berawal dari rasa ketidakcocokan. Peran psikologi nampak jelas dalam realitas ini. Psikologi mendapat beban berat untuk mencarikan alternatif terhadap masalah ini. Untuk itu, peneliti ingin mengungkap realitas yang ada dalam fenomena broken home dengan harapan bisa memberikan bahan analisis guna mengembangkan intervensi yang sleayaknya terhadap kasus-kasus broken home yang kian meningkat.

1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini yaitu:
1.      apakah hakikat dari keluarga broken home?
2.      Apa saja ciri-ciri keluarga broken home?
3.      Bagaimana pemaknaan cinta orang tua dalam perspektif psikologi?
4.      Bagaimana perkembangan kepribadian dan peran dukungan sosial bagi remaja yang mengalami broken home?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui hakikat keluarga broken home
2.      Mengetahui ciri-ciri keluarga broken home
3.      Mengetahui pemaknaan cinta orang tua dalam perspektif psikologi
4.      Mengetahui perkembangan kepribadian dan peran dukungan sosial bagi remaja yang mengalami broken home.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 .  Hakikat Keluarga Broken Home
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orangtua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari orangtuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orangtuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orangtuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adapt atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Khususnya saat anak mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan kewajiban orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter; mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
Solusi terbaik untuk anak-anak tersebut bukanlah psikolog, guru dan ulama, melainkan orang tua yaitu ayah dan ibunya di rumah yang dapat berperan dan berfungsi selayaknya orang tua. Anak-anak tidak akan berbicara secara verbal mengenai kebutuhan dan keinginan hati kecilnya, tetapi mereka akan berbicara dalam bentuk perilaku yang diperlihatkannya dalam keseharian. Alangkah bahagia dan senangnya anak-anak jika orangtua dapat mengerti dan memahami fungsi dan peran orang tua sebagaimana mestinya. Andai saja orangtua dapat mengurangi keegoisannya dan menyisihkan waktu memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya, maka anak akan menjadi generasi yang berintelektual tinggi dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan harapan dan cita-cita orangtuanya.
2.2 Ciri-Ciri Keluarga Broken Home
Berdasarkan beberapa asumsi dalam literatur, peneliti menemukan bahwa keluarga broken home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja. Keluarga broken home secara keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai orangtua tidak berjalan baik secara fungsional. Fungsi orangtua pada dasarnya adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai baik-buruk, sebagai motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang, dan sebagainya. Jikalau fungsi orangtua ini terhambat, maka aspek-aspek khusus dalam keluarga bisa dimungkinkan tak terjadi.
Pada hakikatnya, anak membutuhkan orangtuanya untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Pada masa remaja, berdasarkan asumsi Erickson, remaja memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figure sample dalam internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orangtua sebagaimana mestinya, maka hal in bisa terhambat. Proses pencarian identitas dalam kondisi serupa ini bisa jadi meriam bagi remaja itu. Remaja itu dimungkinkan membentuk kerpibadian yang kurang sehat dengan perasaan terisolasi. Proses pencarian identitas akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas (confused of Identity). Penambahan juga, remaja itu mungkin bisa mengembangkan perilaku yang delinquency, atau bahkan patologis, jika keadaan keluarga yang broken home itu dirasakannya sangat menekan dirinya.  Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yeri Abdillah (2003) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa agresivitas pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih tinggi daripada rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.
Masih banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam keluarga broken home. Efeknya akan lebih terasa jika sang anak berada dalam masa remaja. Masa remaja dalam psikologi diasumsikan sebagai masa yang penuh dengan strom and stress. Jikalau dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan yang bisa menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.

2.3 Pemaknaan Cinta Orangtua Dalam Perspektif Psikologi
Cinta adalah suatu perasaan yang tulus terhadap orang yang dicintai.
mampu memahami mengerti, menyayangi orang yang dicintainya.
berjiwa besar, dan mau membahagiakan orang yang dicintainya
. Cinta merupakan suatu perasaan yang diciptakan oleh Tuhan untuk membahagiakan umatnya. Cinta merupakan sesuatu yang sakral, suatu perasaan yang selalu digunakan dalam kehidupan. Kehidupan tanpa cinta seperti sayur tanpa garam. Walaupun cinta itu mungkin jarang diungkapkan tetapi cinta itu sebagian besar ditunjukkan dengan perasaan-perasaan, perhatian-perhatian atau mungkin tindakan-tindakan yang positif terhadap orang-orang yang dicintai.
Cinta orangtua tehadap anaknya, dengan bimbingan melalui perasaan dan tindakan sebagai ungkapan cinta mereka kita sebagainya anaknya akan berkembang lebih baik. Sebagai manusia sangat wajar jika kita memiliki perasaan cinta itu. Kita menyayangi sesorang dan mencintainya itu merupakan suatu komitmen untuk bersamanya dalam mengarungi kehidupan ini, atau paling tidak kita dapat saling membahagiakan. Cinta juga dapat tumbuh seiring dengan waktu, jika ada perasaan yang tulus maka awalnya kita menganggap suatu hubungan biasa saja namun seiring dengan perjalan waktu kita menemukan kecocokan dengan hubungan tersebut, maka akan tumbuh rasa yang dinamakan cinta.
Cinta akan datang sekali dalam hidup pada satu pintu hati kita, maka gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dalam perjalanannya cinta itu akan mengalami banyak sekali rintangan. Seperti halnya perjalanan hidup, akan banyak mengalami cobaan halangan dan rintangan untuk mencapai kebahagian cinta. Kita bisa belajar dari rintangan-rintangan itu, sehingga dapat memahami cinta dan tahu apa yang harus dilakukan demi cinta.
Cinta orangtua merupakan konsep dasar yang bisa diasumsikan sebagai segala yang diberikan oleh ayah dan ibu dalam perannya sebagai orangtua terhadap anaknya. Anak secara umum akan mengidentifikasikan dirinya pada orangtua. Beberapa penelitian mengidentifikasikan bahwa kelekatan anak hingga remaja pada umumnya terletak pada orangtuanya. Apabila orangtuanya tidak memberikan kasih sayang yang cukup kepada anaknya, maka kelekatan itu tidak aka ada. Untuk mendapatkan sumber kelekatan selain orangtua adalah hal yang rumit. Untuk itu, di sini peran orangtua secara fungsional merupakan aspek penting dalam perkembangan anak.
Munculnya masalah broken home menimbulkan suatu perasaan menyesal pada remaja, dan melakukan identifikasi ulang. Ketiadaannya dukungan sosial menyebabkan kurangnya alternatif masukan bagi remaja itu untuk melakukan reidentifikasinya. Orangtua yang semulanya menjadi teladan, akan dianggap sebagai pembawa petaka baginya. Dari ini muncullah rasa ketidakpercayaan pada diri remaja itu. Munculnya rasa ketidakpercayaan ini menyebabkan cinta kepada orangtuanya semakin menipis atau berkurang. Kelekatan dengan orangtua semakin kecil, sehingga asumsi-asumsi negatif kepada orangtua mulai muncul. Dari itu muncullah asumsi bahwa orangtuanya sudah tidak menyayanginya lagi. Perkuatan muncul apabila tidak adanya perhatian secara fisikal yang ditujukan pada remaja itu.
Pemaknaan cinta orangtua akan semakin mengarah pada negativitas seiring dengan munculnya beberapa hal berikut ini:
1.    Ketiadaan perhatian fisikal yang dirasakan oleh remaja dalam keluarga broken home,
2.    Konfliks antara orangtuanya dirasakan semakin mengarah pada egoisme ayah-ibunya tanpa mempertimbangkan eksistensi remaja itu,
3.    Kurangnya pemahaman spiritualisme dalam menghadapi kenyataan hidup berkaitan dengan situasi broken home,
4.    Kurangnya sosialisasi dari lingkungan sosialnya untuk memandang hal itu dari sisi positif, dan
5.    Taraf perkembangan sosioemosional yang belum dewasa.
Freud dalam psikonalisis paradoksnya mengasumsikan bahwa konfliks sebagian besar hanya muncul dalam taraf ketidaksadaran individu. Meskipun sacara fisikal terlihat senyum, bukan berarti mood orang itu juga posiitif. Konfliks internal yang mungkin lebih parah akan muncul dan bermula dari ketidaksadarannya. Sifat inilah yang menentukan kesadaran manusia berkaitan dengan ego, ego ideal, superego, dan id-nya. Sistem ini akan berdinamika sesuai pengalaman. Faktor broken home dapat secara kuat menyebabkan perasaan subjektif akan cinta orangtua semakin berkurang atau mengarah pada hal negatif. Bukan tidak mungkin remaja dalam keluarga broken home akan menyalahkan atau memandang secara negatif terhadap salah satu orangtua atau bahkan kedua orangtuanya, jika orangtuanya itu dianggap penyebab penderitaan yang dirasakannya. Ini merupakan suatu bentuk kompensasi tak langsung atas asumsi subjektif diri remaja itu atas penderitaan yang seharusnya tidak ia dapatkan. Dalam teori klasik Freud, hal ini menyebabkan pemasakan intrapsikis yang salah, dan dapat mengarah pada suatu bentuk patologis apabila tidak mendapatkan pemecahan masalah yang efektif.
Remaja dalam tahapan psikososial Erickson disebutkan adalah masa pencarian identitas. Dalam tahapan ini, peran orangtua dalam membentuk identitas nampak jelas, apalagi bagi remaja putri (Margareth Rosario, 2007). Remaja putri dalam masa pencarian identitas dirinya sangat bergantung pada orangtuanya sebagai figur teladan, berbeda pada remaja putra yang lebih ditentukan oleh peer-groupnya. Fakta penelitian ini sudah seharusnya mempertimbangkan individual differences, yang menyadari bahwa itu semua bergantung dan khas pada tiap individu

2.4 Perkembangan Kepribadian dan Peran Dukungan Sosial Bagi Remaja yang Mengalami Broken Home
Dalam psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler disebutkan bahwa lingkungan social memainkan peran penting dalam perkembangan individu dalam rentang yang ada. Manusia pertama-tama dimotivasi oleh dorongan-dorongan sosialnya. Menurut Adler, pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan sosial, dan sebagainya. Dorongan sosial Adler merupakan dorongan yang bersifat herediter atau bawaan genetic, yang kemudian mendapat stimulus-stimulus untuk perubahan perkembangannya dari lingkungan sosialnya. Adler mengatakan bahwa manusia adalah diri yang kreatif. Psikologi Individual Adler merupakan kombinasi system subjektif yang sangat dipersonalisasikan, yang menginterpretasikan pengalaman-pengalaman penuh arti. Sejalan dengan pandangan Soren Kierkegaard bahwa manusia adalah subjektif, sehingga kebenaran subjektif merupakan hal utama yang pertama.
Adler juga menambahkan bahwa diri mencari pengalaman-pengalaman yang membantu pemenuhan gaya hidup sang pribadi yang unik, apabila tak ditemukan, maka diri akan berusaha menciptakannya. Ini menjelaskan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi remaja dalam keluarga broken home. Dengan adanya dukungan sosial dari lingkungan sosialnya, maka pengalaman dalam hal problem solving masalah keluarga yang dihadapinya akan didapatkannya. Masih dalam hal dukungan sosial, intensi perilaku juga dipengaruhi oleh arah vektor kontinumnya. Arahnya ditentukan oleh masukan dari agen dukungan sosialnya. Agen yang tepat berarti agen tersebut dapat memberi masukaqn saran yang tepat bagi diri itu, dan dapat mengarahkannya untuk menghambat lajunya masalah yang dihadapi agar tidak semakin memburuk.
Manusia sebagai diri, menurut Adler merupakan pribadi yang unik yang terdiri atas konfigurasi unik dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minat, dan nilai-nilai, dimana setiap perbuatan yang dilakukan mencerminkan gaya hidup yang khas baginya. Manusia menjalani hidupnya dengan motivasi dorongan sosial. Hilangnya dorongan sosial dapat berakibat munculkan gangguan perkembangan atau gangguan psikis lainnya.
Sejalan dengan Adler, Kierkegaard juga memandang bahwa kesadaran menjadi pusat kepribadian manusia. Manusia adalah makhluk sadar; mereka sadar akan inferioritas-inferioritasnya; dan sadar akan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan. Adler mengasumsikan bahwa diri manusia memiliki aspek finalisme fiktif. Ini merupakan penjelasan Adler bahwa manusia hidup dengan berjuta harapan dan tujuannya yang fiktif. Dengan adanya harapan dan tujuan fiktif ini, memungkinkan manusia menghadapi kenyataannya secara lebih efektif. Gambaran mengenai kehidupan yang harmonis mungkin bagi remaja dalam keluarga broken home secara kontinum dianggap tak berguna, sehingga memungkinkan gambaran fiktif itu akan dibuang dari dirinya. Intensinya ditentukan oleh pada rentang kontinum seberapa ia menganggap\ gambaran fiktif itu tidak berguna. Perasaan inferioritas dapat muncul apabila gambaran itu samara-samar adanya, sehingga menimbulkan kebingungan diri.
Adler menjelaskan bahwa manusia lebih didorong oleh harapan-harapan di masa depan daripada kenangan masa lalunya. Harapan yang pupus akibat broken home ini, membuat diri remaja itu berupaya untuk melakukan dinamika diri ke arah kemajuan. Lagi-lagi di sini nampak peran dukungan sosial dalam dinamika diri. Harapan yang pupus menyebabkan perilaku sekarang menjadi terhambat dengan adanya broken home. Hilangnya harapan ini akan mempengaruhi perilaku dalam parameter sejauhmana harapan itu menjadi prioritas hidupnya. Apabila itu sangat penting bagi dirinya, maka simtom negatif tertentu akan mungkin muncul, misalnya menjadi suka menyendiri, mudah tersinggung, dan sebagainya. Akan tetapi, Adler menyebutkan bahwa orang norma pasti dapat membebaskan diri dari harapan fiktif ini, sehingga diri terbebas dalam menghadapi kenyataan dari fiktif-fiktif ini. Apabila diri tidak demikian, maka gangguan psikis atau gangguan perkembangan akan muncul.
Adler menambahkan setiap diri memiliki kecenderungan untuk mengarah pada superioritas dengan tiga cirinya yaitu menjadi agresif, bekuasa, dan superior. Superior di sini bukanlah bersifat individualisme, melainkan sejalan dengan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow. Superioritas merupakan gejala adanya aktualisasi diri. Ini terjadi pada orang normal. Ketidakberdayaan fisik dan kelemahan yang tak nampak lainnya menjadi faktor pendukung munculnya perasaaan inferioritas. Pada remaja dalam keluarga broken home, broken home ini akan menjadi bahan bagi munculnya rasa inferior pada dirinya, tergantung sejauhmana masalahnya dirasakan membuat dirinya tak berdaya. Adakah kompensasinya ? Adler menjawab bahwa dari adanya inferioritas itu muncullah kompensasi atas rasa inferior itu. Metode kompensasi ini diperoleh selama proses belajar sosialnya terhadap lingkungan, sedangkan pertimbangan untuk menggunakannya ditentukan secara subjektif oleh diri remaja itu. Kompensasi yang mungkin muncul adalah semakin melekatnya remaja itu dengan peer groupnya, atau menjadi seorang penyendiri, dan peka perasaannya. Adler menyebutkan bahwa rasa inferior ini muncul bukan sebagai abnormal, melainkan sebagai bentuk penyempurnaan dalam perkembangan dirinya. Manifestasi atas perkembangan yang tak dapat dilakukan remaja mengakibatkan adanya gejala abnormalitas, misalnya gangguan penyesuaian.
Adler kemudian menekankan peranan dukungan sosial dalam perkembangan diri remaja yang mengalami broken home. Lingkungan sosial yang mendukung positif menjadi sumber inspirasi penting bagi individu, sehingga diri mampu mengembangkan dirinya ke arah kesempurnaan, yang menjadi tujuan perkembangan diri menurut Adler. Ketiadaan dukungan sosial yang memadai bagi diri menyebabkan semakin besarnya intensitas inferioritas yang dirasakannya, dan ini dapat mengarahkan pada gejala keabnormalitasan diri. Akan tetapi, Adler percaya bahwa tiap diri adalah kreatif untuk mencari alternatif penyelesaian bagi setiap masalah yang dihadapinya, sehingga apabila abnormalitas itu muncul, maka dapat disimpulkan bahwa stimulus broken home yang dirasakannya melebihi taraf intensitas kemampuannya dalam mereduksi masalah.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Percaraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Penyebab perceraian anatar lain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan pernikahan tanpa cinta.
Broken home bukanlah akhir dari segalanya bagi kehidupan kita. Jalan kita masih panjang untuk menjalani hidup kita sendiri. Pergunakanlah situasi ini sebagai sarana dan media pembelajaran guna menuju kedewasaan. Ingat, kita tidak sendiri dan bukanlah orang yang gagal. Kita masih bisa berbuat banyak serta melakukan hal positif. Menjadi manusia yang lebih baik belum tentu kita dapatkan apabila ini semua tidak terjadi. Mungkin saja ini merupakan sebuah jalan baru menuju pematangan sikap dan pola berpikir kita.

3.2 Saran
Penulis sebagai penyusun makalah ini berharap makalah ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Terjaganya makalah ini merupakan harapan penulis. Kepada pembaca yang menggunakan makalah ini dalam berbagai bidang diharapkan dapat menjaga dengan sebaik-baiknya.






DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: Refika
Hall, Calvin S, Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius
Palmer, Donald D. 2001. Kierkegaard: Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius
Santrock, John W. 2002. Adolescence: Perkembangan Masa Remaja. Yogyakarta: Erlangga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar